PUBLIKAINDONESIA.COM, TOKYO – Sebuah temuan mengejutkan datang dari dunia sains. Peneliti Jepang berhasil membuktikan bahwa tubuh manusia secara alami memancarkan cahaya menyerupai “aura” meskipun tak terlihat oleh mata telanjang.
Fenomena ini dikenal sebagai ultraweak photon emission (UPE), yaitu pancaran cahaya sangat lemah yang diproduksi akibat aktivitas metabolisme sel tubuh. Temuan ini didokumentasikan oleh tim ilmuwan dari Institut Teknologi Tohoku yang dipimpin oleh Masaki Kobayashi dan Daisuke Kikuchi, bersama Hitoshi Okamura dari Universitas Kyoto.
“Tubuh manusia benar-benar berkilau. Hanya saja, intensitas cahayanya seribu kali lebih lemah dari batas sensitivitas mata manusia,” ungkap para peneliti, seperti dikutip dari Gizmodo.
Bukan Mitos, Tapi Fakta Ilmiah
Untuk membuktikan fenomena ini, para peneliti menggunakan kamera ultra-sensitif berbasis teknologi CCD kriogenik yang telah disempurnakan. Kamera ini mampu menangkap cahaya yang dipancarkan sel-sel tubuh manusia, yang biasanya tersembunyi dari pandangan manusia biasa.
Melalui eksperimen yang dilakukan pada beberapa sukarelawan pria sehat berusia 20-an, kamera berhasil merekam pola harian dari pancaran cahaya tubuh. Hasilnya menunjukkan bahwa tubuh manusia paling terang di sore hari, dan paling redup di malam hari.
Terkait Ritme Sirkadian dan Metabolisme
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pancaran cahaya tubuh berhubungan erat dengan ritme sirkadian, yaitu jam biologis tubuh yang mengatur berbagai fungsi metabolik. Intensitas cahaya meningkat seiring aktivitas metabolisme, terutama saat sore hari ketika tubuh berada dalam kondisi aktif secara biologis.
Meskipun sering dikaitkan dengan konsep spiritual seperti “aura manusia”, para ilmuwan menegaskan bahwa fenomena ini sepenuhnya bersifat biologis dan ilmiah.
Dampak Penelitian dan Potensi Aplikasinya
Temuan ini membuka potensi besar dalam bidang diagnostik medis dan pemantauan kesehatan, karena perubahan intensitas dan pola cahaya bisa mencerminkan kondisi metabolik atau stres oksidatif dalam tubuh seseorang.
“Dengan pengembangan teknologi lebih lanjut, mungkin kita bisa menggunakan cahaya ini sebagai indikator non-invasif terhadap kondisi kesehatan seseorang,” ujar Kobayashi.