Pemerintah Siapkan Aturan Baru, Marketplace Bakal Jadi Pemungut Pajak Transaksi Online

PUBLIKAINDONESIA.COM, JAKARTA – Pemerintah tengah menyiapkan langkah strategis dalam mereformasi sistem perpajakan digital. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan berencana menunjuk platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang secara daring.

Rencana ini menjadi bagian dari upaya efisiensi administrasi perpajakan tanpa menambah jenis pajak baru. Kebijakan baru ini ditargetkan menjadi respons konkret terhadap pesatnya pertumbuhan ekonomi digital nasional.

“Bukan pajak baru, ini hanya mengubah sistem pemungutan agar lebih praktis dan efisien,” ujar Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, Kamis (26/6/2025).

Regulasi yang kini sedang difinalisasi akan mengatur jenis layanan digital yang dikenai pajak, mekanisme pemungutan oleh marketplace, serta dokumen pendukung yang harus disiapkan. Nantinya, pajak akan dipotong langsung dari transaksi yang terjadi di platform oleh pihak marketplace, menggantikan mekanisme lama di mana pelapak melaporkan pajaknya secara mandiri.

Namun, pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun tetap akan dibebaskan dari kewajiban pemungutan PPh, sejalan dengan ketentuan pajak final sebelumnya.

Potensi Pajak Digital Terus Tumbuh

Per 31 Maret 2025, pemerintah mencatat penerimaan pajak digital telah mencapai Rp34,91 triliun, yang terdiri dari:

  • PPN PMSE: Rp27,48 triliun
  • Pajak kripto: Rp1,2 triliun
  • Pajak fintech: Rp3,28 triliun
  • Pajak pengadaan digital via SIPP: Rp2,94 triliun

Dari 211 pelaku PMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN, sebanyak 190 telah aktif menyetorkan pajak.

Pengamat: E-Commerce Masih Punya Ruang Besar

Menurut pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, sektor e-commerce masih menyimpan potensi penerimaan pajak yang belum tergarap optimal. Ia merujuk pada studi Bain & Company yang menyebut nilai ekonomi digital Indonesia tahun ini mencapai US$90 miliar, dan 72,2% di antaranya berasal dari sektor e-commerce.

Namun, Fajry mengingatkan bahwa keterbatasan data masih menjadi tantangan utama, sehingga kerja sama antara DJP dan pihak ketiga diperlukan untuk mendapatkan data transaksi dan omzet yang akurat.

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute, Ariawan Rahmat, yang menilai penyesuaian regulasi sebagai langkah penting di tengah dominasi ekonomi digital. Ia menyarankan agar ambang batas PPN PMSE sebesar Rp600 juta per tahun ditinjau ulang guna menjaring lebih banyak pelaku usaha kecil.

“Pemerintah juga perlu memperkuat pemotongan PPh final 0,5% hingga 1,5% bagi pelapak kecil agar basis pajak nasional semakin luas,” ucap Ariawan.

Respons Industri: Siap Asal Bertahap dan Terukur

Budi Primawan, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), menyatakan kesiapannya mendukung kebijakan ini, namun dengan catatan.

“Kami siap patuh. Tapi implementasi harus bertahap dan memperhatikan kesiapan UMKM,” tegasnya.

Budi berharap DJP memastikan sistem pemungutan yang disiapkan oleh marketplace benar-benar siap secara teknis agar tidak membebani pelaku usaha kecil yang jumlahnya jutaan

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top