BANJARBARU, PUBLIKAINDONESIA — Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa percepatan pengadministrasian dan pendaftaran tanah ulayat di Kalimantan Selatan sangat penting untuk mencegah konflik agraria dan perlindungan hak masyarakat adat.
Pernyataan tersebut disampaikan Nusron saat membuka kegiatan Sosialisasi Pengadministrasian dan Pendaftaran Tanah Ulayat di Auditorium Idham Chalid, Kota Banjarbaru, Kamis (31/7/2025).
“Tanah ulayat masyarakat adat sangat berisiko dicaplok jika tidak segera disertifikasi. Inilah letak kerawanannya,” ujar Nusron.
Dari total 2,05 juta hektare Area Penggunaan Lain (APL) di Kalimantan Selatan, baru sekitar 1,2 juta hektare yang telah terpetakan dan terdaftar secara resmi. Masih ada sekitar 850.000 hektare atau 42 persen lahan yang belum memiliki kejelasan hukum.
Nusron mengingatkan, situasi ini bisa membuka celah bagi penyalahgunaan wewenang atau penguasaan lahan secara sepihak, seperti yang pernah terjadi di sejumlah wilayah lain seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan.
“Pendaftaran tanah ulayat bukan sekadar formalitas, tapi bentuk pengakuan negara terhadap eksistensi dan hak masyarakat adat. Ini adalah langkah paling efektif untuk mencegah perampasan tanah,” tegasnya.
Menurut Nusron, sertifikasi komunal atas nama lembaga adat menjadi solusi untuk memperkuat perlindungan hak. Dalam mekanisme ini, setiap transaksi atau alih fungsi tanah harus mendapat persetujuan dari seluruh anggota masyarakat adat.
“Jika sudah terdaftar sebagai tanah ulayat, pengalihannya tidak bisa sembarangan. Harus ada kesepakatan bersama. Ini mitigasi terbaik agar tanah adat tidak jatuh ke tangan yang salah,” jelasnya.
Menteri Nusron juga mengimbau pemerintah daerah serta masyarakat hukum adat agar aktif mendaftarkan tanah ulayat mereka. Ia menegaskan, negara siap mendampingi dan memberikan dukungan penuh dalam proses legalisasi aset komunal.
“Kalau ingin hak kita diakui, maka mulailah dari legalitas. Negara hadir untuk melindungi, tapi masyarakat juga harus proaktif,” tambahnya.
Selain itu, ia mengingatkan pentingnya pemutakhiran sertifikat lama yang diterbitkan antara tahun 1960 hingga 1997. Banyak dari sertifikat ini tidak dilengkapi peta bidang, yang dapat menimbulkan tumpang tindih di kemudian hari.
“Pembaruan ini tidak dikenakan biaya dan sangat penting untuk memperkuat kepastian hukum,” ujar Nusron.