SuaraPublika.com — Dinasti politik (political dynasty) trending di Indonesia. Dinasti politik adalah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga.
Disebut juga keluarga politik (political family), dinasti politik merupakan proses regenerasi kekuasan untuk kepentingan golongan tertentu untuk mendapatkan kekuasaan.
Saat ini dinasti politik di Indonesia menjadi sorotan, setelah anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, disebut berminat terjun ke dunia politik dan mengincar posisi eksekutif.
Dinasti politik Jokowi sudah terjadi, ketika anaknya, Gibran Rakabuming Raka, jadi Wali Kota Solo, dan menantu Jokowi, Bobby Nasution, menjadi Wali Kota Medan. Terpilihnya Gibran dan Bobby tak lepas dari pengaruh Jokowi.
Upaya Mengamankan Diri
Dinasti politik dinilai pengamat sebagai ”upaya mengamankan diri” setelah seorang petahana tidak menjabat lagi dan pada kondisi tertentu bisa menjadi ”contoh buruk”.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, menilai dinasti politik adalah “fenomena biasa” dan belum tentu menjadi jaminan sukses bagi penerus dinasti tersebut.
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana membenarkan bahwa dinasti politik bisa menjadi “pembuka jalan” dan penerus dinasti akan mendapatkan ”privilese”.
Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan ”pada dasarnya semua orang berhak untuk terjun ke dunia politik”, tetapi pada kondisi tertentu dinasti politik akan ”menjadi contoh buruk bagi budaya dan ekosistem politik”.
Titi mengatakan ”semua orang berhak untuk terjun ke dunia politik”, tetapi dinasti politik bisa mendatangkan masalah untuk partai dan untuk demokrasi itu sendiri. Sebab, politisi yang memiliki jaringan kekerabatan “sering mengabaikan” proses kaderisasi dan demokrasi di internal partai.
Dinasti politik merupakan jalur cepat untuk menduduki posisi penting dan strategis dalam struktur partai yang mereka peroleh tanpa melalui proses kaderisasi ataupun rekrutmen politik demokratis.
Hal ini juga berdampak pada kualitas pejabat publik yang tidak kompeten dan jauh dari kualitas kepemimpinan yang berkualitas.
Secara teoritis, kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati, dinasti politik digunakan sebagai strategi pertahanan setelah seorang petahana tidak menjabat lagi serta bisa menjadi strategi untuk memperluas dukungan politik.
Dinasti politik juga bisa dijadikan strategi untuk mempertahankan identitas. Mada menambahkan, biasanya, dinasti politik terjadi pada kelompok-kelompok “yang berbasis kepada agama, etnis, dan kedaerahan”.
Di Indonesia, dinasti politik terjadi di level nasional sampai regional dan itu “bukan fenomena baru”.
Di tataran nasional, Mada menyebutkan dinasti Soekarno, Soeharto, dan SBY. Sementara di regional ada di Banten, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, sampai ke Ambon dan Papua.
Dinasti politik di Indonesia kebanyakan “memperluas praktik korupsi” dan tidak membuat pelayanan publik menjadi lebih baik.
Pada 2019 lalu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basaria Panjaitan mengatakan sejumlah perkara korupsi di KPK melibatkan klan-klan politik di daerah. Oleh sebab itu, dinasti politik menjadi perhatian lembaganya.
Jokowi pernah mengaku bahwa dirinya tidak dilibatkan ketika anak-anaknya memutuskan terjun ke dunia politik.
Dalam wawancara eksklusif dengan BBC pada 2020 lalu, Presiden Jokowi menepis tudingan bahwa dirinya membangun dinasti politik.
“Dinasti politik itu kalau kita menunjuk anggota keluarga kita untuk menjabat. Misalnya saya menunjuk anak saya jadi menteri. Tapi kalau seorang keluarga, anak, misalnya, mendaftarkan diri, berpartisipasi dalam pilkada, yang menentukan rakyat bukan Jokowi,” kata Jokowi.
Meski demikian, Titi Anggraini dari Perludem menilai, ketika anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, dan menantunya, Bobby Nasution, mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada 2019 lalu, fenomena ini sebagai awal kelahiran dinasti politik baru dari klan Jokowi.
“Secara moral menjadi sesuatu yang disayangkan oleh banyak kelompok. Karena ternyata kekuasaan itu menggoda, dan godaan itu sulit ditepis oleh lingkungan di sekitar Jokowi,” kata Titi. (BBC)